Latar Belakang
Penyelenggaraan negara Indonesia mengalami titik nadir pada akhir periode kedua pemerintahan presiden Joko Widodo ketika dirinya berusaha melanjutkan kekuasaannya dengan segala cara. Mulai dari menggunakan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah aturan Undang-undang terkait batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga Gibran Rakabuming anak sulungnya bisa didaftarkan sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto, hingga menggunakan berbagai instrumen negara dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Sebenarnya ini adalah kulminasi dari upaya pelemahan demokrasi yang dilakukan secara bertahap sejak periode pertama presiden Joko Widodo. Pelemahan KPK, polisi aktif menjadi pejabat sipil, serta anak dan menantu presiden aktif menjadi pejabat publik.
Presiden Joko Widodo tidak sendirian mengakibatkan degradasi institusi negara ini. Parlemen yang harusnya melakukan check and balance justru bergandengan erat dengan pemerintah dalam menggerogoti institusi negara. Koalisi gemuk yang dipimpin oleh PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu mengamini semua perubahan, jika bukan justru mereka yang mengarahkan presiden untuk melakukannya.
Walaupun pada akhir periode kedua Jokowi dan PDIP justru berseberangan dalam pilpres, tapi pasca pemilihan nampak bahwa mereka kembali bekerja sama dalam menguatkan cengkeraman mereka. Penggagalan eks capres Anies Baswedan dari pencalonan dalam pemilihan gubernur Jakarta hanya puncak dari gunung es. Bagi-bagi kekuasaan antar daerah disinyalir terjadi dalam pilkada serentak 2024 ini.
Bahkan upaya memaksakan pelolosan putra presiden Jokowi ke pemilihan hampir terjadi lagi di pemilihan gubernur Jakarta, kali ini dengan menggunakan instrumen Mahkamah Agung. Beruntung masyarakat sipil tidak tinggal diam, demo besar terjadi di berbagai kota berhasil menggagalkan revisi undang-undang di DPR yang akan meloloskan pencalonan putra dinasti Jokowi.
Namun berbagai perubahan hukum dan pengangkatan pejabat lembaga negara yang bersifat menguatkan kedudukan oligarki selama ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap oligarki ini tidak bisa hanya dari luar parlemen. Sayangnya selama ini tidak ada oposisi yang cukup kuat melawan oligarki yang tersusun dari koalisi mayoritas partai. Bahkan fenomena pilkada 2024 ini menunjukkan bahwa semua partai yang lolos di parlemen telah bergabung ke dalam koalisi oligarki ini.
Ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap oligarki tidak bisa disalurkan melalui partai yang sudah ada. Kebutuhan akan partai baru tidak bisa ditawar dan ditunda.
Last updated